SELAMAT DATANG DI BLOG SDN 003 NUNUKAN SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT UNTUK ANDA ---- BLOGER YANG BAIK POST KOMEN YACH

Senin, 13 Desember 2010

Pendidikan di wilayahperbatasan

0 komentar
Pada saat ini BNPP terkait pengelolaan wilayah perbatasan sudah berdiri, seperti harapan banyak pihak, semoga badan ini dapat bermanfaat dan bermakna bagi pembangunan wilayah perbatasan. Tetapi sesungguhnya disamping berbagai hal terkait pembangunan wilayah perbatasan itu penting, namun perlu kiranya di utamakan untuk terlebih dahulu memperhatikan masalah pendidikan anak-anak di wilayah perbatasan. Untunglah, salah satu pengelola BNPP ini di Kaltim misalnya atau katakanlah Kepalanya adalah salah satu anak dari perbatasan; selamat pagi, selamat siang atau selamat malam  pak Proffesor? Yah, yang saya maksud adalah bapak Dr A.Patton. Kembali ke masalah pendidikan anak-anak di wilayah perbatasan;

Anak-anak itu tidak mungkin dapat sekolah di perbatasan; mereka  tidak mungkin tiap hari pergi-pulang ke sekolah. Kampung-kampung mereka jauh di pedalaman. Pilihan cuma satu; mereka harus berpisah dengan orangtua, dengan keluarganya  untuk bisa sekolah. Nah itu kalau mereka punya tempat atau asrama di Kota, kalau tidak, mana mungkin mereka bisa sekolah di sana, sementara untuk penghidupan sehari-harinya saja sudah susah. Salah satu sederhana dan baik adalah Asrama Yayasan Peduli Pendidikan Masyarakat Pedalaman di Ledo. Letak asrama itu sekitar 50 kilometer dari perbatasan Kalbar-Serawak, Malaysia (di Kecamatan Jagoibabang, Bengkayang), atau sekitar 260 kilometer utara Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.
Kebutuhan mendasar
Asrama milik Yayasan Peduli Pendidikan Masyarakat Pedalaman itu memang khusus menampung anak-anak dari kampung-kampung di Kecamatan Ledo dan sekitarnya.Di tempat itu, ada dua bangunan, masing-masing untuk pelajar putra dan putri. Bangunannya terbuat dari kayu dan batako. Kamar-kamarnya disekat dengan papan tripleks, sedangkan ranjang dan kasur harus disediakan sendiri oleh pelajar yang tinggal di sana.
Biasanya mereka bisa tinggal secara  gratis di asrama. Atau meskipun harus bayar ya untuk  bayar listrik, katakanlah antara Rp 20-25 ribu per bulan. Untuk memasak dan mencuci mereka bisa lakukan sendiri. Atau kalau tidak dari rumah mereka sudah menyediakan sambal gorengan yang tahan utk satu-dua minggu. Biasanya untuk  kompor, panci, piring, dan gelas mereka bisa  bawa sendiri-sendiri
Konsep Teruji
Cara menyekolahkan seperti ini, sebenarnya sudah lama dilakukan oleh Pemda (Kab/Kota/Prov) pada tahun-tahun 60 an. Pada waktu itu masing-masing pemda misalnya berkenan membangunkan asrama siswa/mahasiswa bagi para pelajar mereka yang akan meuntut ilmu di Kota. Katakanlah di Yogyakarta, pada waktu itu banyak sekali asrama-asrama daerah di sana. Bagi yang punya sih tidak jadi persoalan, mereka bisa membiayai sendiri untuk pemondokan atau kostnya, tetapi bagi mereka yang tidak punya, maka dengan cara ini mereka jadi belajar di kota, di perguruan yang lebih baik. Mereka cukup iuran untuk listrik, air dan pembantu yang memelihara kebersihan asrama itu sehari-hari.
Kita kembali ke  asrama yang di Ledo, asrama ini dibangun tahun 2004, di sana ada sekitar  15 pelajar.  Mereka biasanya kembali ke kampung masing- masing dua atau tiga pekan sekali. Meskipun kampungnya jauh di pedalaman dan susah ke sana, tetapi mereka pasti merindukannya. Hal seperti itu juga dengan sendirinya akan dapat memperkuat semangat mereka untuk belajar. Mereka bisa melihat sendiri, bagaimana nasib mereka kalau tidak mempunyai ilmu untuk hidup.
Pulang ke kampung itu sendiri,  bukan perkara mudah. Perjalanan ke rumah mereka  di Desa Jelatuk, Kecamatan Lumur, menempuh waktu dua jam dari Ledo—hal itu bisa mereka lakukan dengan motor dan jalan kaki. Sebagian jalannya masih setapak dan berbukit. ”Di Lumur jelas tidak ada SMA jadi mereka harus sekolah di Ledo. Nah anda bisa bayangkan, kalau asrama tidak ada, bagaimana mereka bisa sekolah?  Menurut hemat saya, hal seperti ini perlu juga dilakukan oleh Pemda yang memabangun asrama-asramanya di sekolah-sekolah terbaik di Dunia; misalnya di Amerika, Australia, Jepang, Jerman dll. Sehingga anak-anak Indonesia itu bisa sekolah di sana. Saya percaya, kalau hal seperti itu ada; pasti banyak mahasiswa Indonesia yang ke sana belajar sambil jadi pekerja paruh waktu (seperti TKI/TKW, tapi lebih luwes gitulah). Sebab di luar negeri itu, hidup tidak susah, dan manusia itu sangat dihargai.

Kalau Musim ujian Tiba
Asrama itu biasanya akan ramai jika musim ujian sekolah tiba. Pada masa seperti ini bangunan bisa ditempati lebih dari 50 siswa. Mereka belajar bersama untuk menghadapi ujian. ”Asrama ini bantuan warga. Tak ada dari pemerintah daerah. Yang ada cuma memberi biskuit. Anak-anak di sini hidup mandiri,” Memang hal seperti ini sangat memprihatinkan. Pemda biasanya punya alasan, mereka tidak punya dana untuk itu. Padahal kalau  Pemda mau, mereka bisa melakukan itu; yakni dengan cara menyisihkan atau meminta sumbangan dari para warganya sendiri; dari sisi anggaran jelas sulit. Padahal kalau DPR merestui dan membuat peraturannya, ya jelas bisa..
Di Ledo juga banyak gubuk yang bisa memuat sekitar lima atau enam orang. Gubuk-gubuk itu biasanya dimanfaatkan pelajar dari daerah pedalaman. ”Umumnya, mereka adalah pelajar SD atau SMP,” paparnya.Sayangnya, semangat bersekolah anak-anak itu tidak dibarengi ketersediaan fasilitas belajar yang cukup. Bahkan, banyak sekolah di pedalaman dan perbatasan di Kalimantan yang kekurangan guru sehingga siswa belajar seadanya. Pengalaman saya tahun 80 an di sana, semua perangkat gurunya ada, tetapi hanya sebatas nama-nama saja; mereka dapat gaji tetapi tidak pernah melaksanakan tugasnya. Itulah Indonesia, uang itu lebih banyak di salah gunakan, dan dimanfaatkan oleh mereka yang bisa memanfaatkannya. Uang Negara sebenarnya tetap keluar untuk semua itu, tetapi memang tidak dipergunakan dengan benar dan dengan ihlas. Uang Negara ini, hanya habis jadi bancaan oleh mereka yang tega…dan sangat tega…untuk tidak membangun Negara ini dengan benar.
Kondisi sekolah diperbatasan itu memang memperihatinkan, seperti yang  di tulis  oleh  M Syaifullah/Ambrosius Harto Manumoyoso/ Wahyu Haryo P/Kompas/14 Des2009) misalnya ;
Jumriadi, guru SMP 003, Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, pertengahan November, terpaksa mengajar dua kelas karena satu rekannya sudah sebulan pulang kampung. Proses belajar 50 siswa di sekolah itu bisa berjalan karena dibantu seorang guru SD, yang juga istri pendeta setempat. Kondisi lebih berat dialami Gat Khaleb, guru SMP 001 Krayan Selatan di Desa Paupan. Dia mengajar 75 siswa kelas I, II, dan III sekaligus untuk semua pelajaran. ”Tujuh rekan saya pulang kampung lebih dari dua minggu,” katanya. Bagi orang awam, guru-guru yang meninggalkan tugasnya begitu lama semestinya mendapat teguran keras. Tetapi, di Kecamatan yang berada di perbatasan Kaltim, hal itu sudah biasa.Sebab, daerah itu terisolasi. Akses ke sana hanya dengan pesawat perintis dari Nunukan, Tarakan, atau Malinau.
Masyarakat di daerah itu minim mendapatkan perkembangan ilmu. Barang bacaan sedikit. Menonton televisi pun tak bisa lama karena listrik dari panel surya dan genset listrik kecamatan terbatas.”Harga bahan bakar mahal, Rp 15.000 per liter dan saat langka bisa Rp 50.000. Sebenarnya, kami ingin seperti teman- teman di perkotaan, yang lengkap memiliki buku bacaan, laboratorium, dan komputer,” cerita Margaret, siswa SMP Negeri 003 Krayan. Tapi semua itu memang masih sebatas mimpi. Itu di wilayah perbatasan RI-Malaysia, bagaimana yang di perbatasan RI-PNG atau RI-Timor Leste.

0 komentar:

Posting Komentar