SELAMAT DATANG DI BLOG SDN 003 NUNUKAN SEMOGA BLOG INI BERMANFAAT UNTUK ANDA ---- BLOGER YANG BAIK POST KOMEN YACH

Senin, 13 Desember 2010

Peran pendidikan di era globalisasi

0 komentar
Sebagai suatu entitas yang terkait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan sangat mendasar dalam era globalisasi. Ada banyak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dinikmati umat manusia. Namun sebaliknya,kemajuan tersebut juga beriringan dengan kesengsaraan banyak anak manusia, apalagi dalam era globalisasi sekarang ini.
Pendidikan sudah menjadi komoditas yang makin menarik. Suatu fenomena menarik dalam hal pembiayaan pendidikan menunjukkan gejala industrialisasi sekolah. Bahkan beberapa sekolah mahal didirikan dan dikaitkan dengan pengembangan suatu kompleks perumahan elite. Sekolah-sekolah nasional plus di kota-kota besar di Indonesia dimiliki oleh pebisnis tingkat nasional dan didirikan dengan mengandalkan jaringan multinasional berupa adopsi kurikulum dan staf pengajar asing.
Otonomi pendidikan tinggi membawa implikasi hak dan kewajiban perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri termasuk mencari sumber-sumber pendapatan untuk menghidupi diri. Konsekuensi logis dari otonomi kampus, saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Perdebatan antara anti-otonomi dan pro-otonomi perguruan tinggi tidak akan berkesudahan dan mencapai titik temu.
Berkurangnya tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan mengarah pada gejala privatisasi pendidikan. Dikotomi sekolah negeri dan swasta menjadi kabur dan persaingan antarsekolah akan makin seru. Akibat langsung dari privatisasi pendidikan adalah segregasi siswa berdasarkan status sosio-ekonomi. Atau, kalaupun fenomena itu sudah terjadi di beberapa kota, pemisahan antara siswa dari keluarga miskin dan kaya akan makin jelas dan kukuh.
Siswa-siswa dari keluarga miskin tidak akan mampu menanggung biaya yang makin mencekik sehingga mereka akan terpaksa mencari dan terkonsentrasi di sekolah-sekolah yang minimalis (baca: miskin) Sementara itu, siswa-siswa dari kelas menengah dan atas bebas memilih sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Selanjutnya, karena sekolah-sekolah ini mendapatkan iuran pendidikan yang memadai dari siswa, sekolah-sekolah ini juga akan mempunyai lebih banyak keleluasaan untuk makin membenahi diri dan meningkatkan mutu pendidikan. Jadi, sekolah yang sudah baik akan menjadi (atau mempunyai kesempatan) untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, sekolah yang miskin akan makin terperosok dalam kebangkrutan.
Dalam dinamika globalisasi, anak-anak bangsa tercecer dalam berbagai sekolah
yang beragam menurut latar belakang sosioekonomi yang berbeda. Negara belum mampu memberikan kesempatan yang adil bagi semua anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Sampai saat ini, belum tampak adanya pembenahan yang signifikan dan terpadu untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan tingkat pendidikan tinggi. Muncul pertanyaan besar: Ke mana arah pendidikan di Indonesia?
Pendidikan dimaksudkan sebagai mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pendidikan untuk selalu menyesuaikan diri dan menjadi lokomotif dari proses demokratisasi dan pembangunan bangsa. Pendidikan membentuk masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang masih menjadi budak sistem politik masa kini telah kehilangan jiwa dan kekuatan untuk memastikan reformasi bangsa sudah berjalan sesuai dengan tujuan dan berada pada rel yang tepat.
Dalam konteks globalisasi, pendidikan di Indonesia perlu membiasakan anak-anak untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia.
Pendidikan nasional perlu mempertimbangkan bukan hanya {state building] dan {nation building] melainkan juga {capacity building.] Birokrasi pendidikan di tingkat nasional perlu fokus pada kebijakan yang strategis dan visioner serta tidak terjebak untuk melakukan tindakan instrumental dan teknis seperti UAN/UNAS. Dengan kebijakan otonomi daerah, setiap kabupaten perlu difasilitasi untuk mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat namun bermutu tinggi. Pendidikan berbasis masyarakat ini diharapkan bisa menjadi lahan persemaian bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk mengenali berbagai persoalan dan sumber daya dalam masyarakat serta terus mencari upaya-upaya untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik.
Globalisasi ekonomi dan era informasi mendorong industri menggunakan sumber daya manusia lulusan perguruan tinggi yang kompeten dan memiliki jiwa kewirausahaan. Akan tetapi tidak setiap lulusan perguruan tinggi memiliki jiwa kewirausahaan seperti yang diinginkan oleh lapangan kerja tersebut.
Kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan perguruan tinggi yang memiliki jiwa kewirausahaan. Di sisi lain, krisis ekonomi menyebabkan jumlah lapangan kerja tidak tumbuh, dan bahkan berkurang karena bangkrut. Dalam kondisi seperti ini, maka lulusan perguruan tinggi dituntut untuk tidak hanya mampu berperan sebagai pencari kerja tetapi juga harus mampu berperan sebagai pencipta kerja. Keduanya memerlukan jiwa kewirausahaan.
Oleh karena itu, agar supaya perguruan tinggi mampu memenuhi tuntutan tersebut, berbagai inovasi diperlukan diantaranya adalah inovasi pembelajaran dalam membangun generasi technopreneurship di era informasi sekarang ini. Ada suatu pendapat bahwa, saat ini sebagian besar lulusan perguruan tinggi di Indonesia masih lemah jiwa kewirausahaannya. Sedangkan sebagian kecil yang telah memiliki jiwa kewirausahaan, umumnya karena berasal dari keluarga pengusaha atau dagang. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa kewirausahaan adalah merupakan jiwa yang bisa dipelajari dan diajarkan. Seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan umumnya memiliki potensi menjadi pengusaha tetapi bukan jaminan menjadi pengusaha, dan pengusaha umumnya memiliki jiwa kewirausahaan. Proses pembelajaran yang merupakan inkubator bisnis berbasis teknologi ini dirancang sebagai usaha untuk mensinergikan teori (20%) dan Praktek (80%) dari berbagai kompetensi bidang ilmu yang diperoleh dalam bidang teknologi & industri. Inkubator bisnis ini dijadikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran dengan atmosfir bisnis yang kondusif serta didukung oleh fasilitas laboratorium yang memadai.
Tujuan implementasi inovasi dari kegiatan inkubator bisnis berbasis teknologi ini adalah menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa sebagai peserta didik. Sedangkan manfaat yang diperoleh bagi institusi adalah tercapainya misi institusi dalam membangun generasi technopreneurship dan meningkatnya relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Sedangkan manfaat bagi mitra kerja adalah terjalinnya kerja sama bisnis dan edukasi. Kerjasama ini dikembangkan dalam bentuk bisnis riil produk sejenis yang memiliki potensi ekonomi pasar yang cukup tinggi.
Proses globalisasi yang sedang terjadi saat ini, menuntut perubahan perekonomian Indonesia dari resourced based ke knowledge based. Resource based yang mengandalkan kekayaan dan keragaman sumber daya alam umumnya menghasilkan komoditi dasar dengan nilai tambah yang kecil. Salah satu kunci penciptaan knowledge based economy adalah adanya technology entrepreneurs atau disingkat techno-preneur yang merintis bisnis baru dengan mengandalkan pada inovasi. Hightech business merupakan contoh klasik bisnis yang dirintis oleh technopreneurs.
Bisnis teknologi dunia saat ini didominasi oleh sektor teknologi informasi, bioteknologi dan material baru serta berbagai pengembangan usaha yang berbasiskan inovasi teknologi. Bisnis teknologi dikembangkan dengan adanya sinergi antara teknopreneur sebagai pengagas bisnis, Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian sebagai pusat inovasi teknologi baru, serta perusahaan modal ventura yang memiliki kompetensi dalam pendanaan.
Jumlah usaha kecil menengah berbasis teknologi (UKMT) di Indonesia berkembang dengan pesat. Kecenderungan peningkatan ini lebih didorong oleh terbatasnya peluang kerja di industri-industri besar karena pengaruh krisis ekonomi dan mulai munculnya technopreneurship di kalangan lulusan pendidikan tinggi teknik.
Dalam menghadapi era globalisasi, persaingan akan semakin ketat, sehingga sangat dibutuhkan kebijakan-kebijakan dan aktivitas-aktivitas secara langsung yang dapat meningkatkan daya saing UKMT di kemudian hari. Kesulitan dan hambatan pada UKMT di Indonesia dalam mengembangkan usahanya adalah lemahnya jalur pemasaran, dukungan teknologi dan terbatasnya permodalan. Terlebih lagi, bagi pengusaha pemula, masalah ini akan terlihat lebih besar dan menjadi kendala cukup besar dalam mengembangkan usahanya.
Sampai saat ini belum banyak institusi pemerintah maupun swasta yang dapat memberikan dukungan secara langsung untuk pengembangan UKMT khususnya bagi pengusaha pemula. Sehingga sangat dibutuhkan suatu wadah yang dapat memberikan dukungan langsung berupa fasilitas-fasilitas yang dapat membantu UKMT khususnya membantu pengusaha pemula dalam melaksanakan dan mengembangkan usahanya.
Dalam rangka turut serta membantu dan mendukung secara langsung kegiatan UKMT khususnya kegiatan pengusaha pemula, maka dipandang sangat perlu untuk dapat membangun suatu wadah yang memiliki fasilitas yang dapat mendukung secara langsung kegiatan operasional, promosi, pemasaran, konsultasi teknologi produksi, investasi dan permodalan. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, diharapkan UKMT khususnya pengusaha pemula di Indonesia dapat mengembangkan usahanya lebih cepat dan terarah.
Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, semoga munculnya generasi technopreneurship dapat memberikan solusi atas permasalahan jumlah pengangguran intelektual yang ada saat ini. Selain itu juga bisa menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan juga Bangsa Indonesia.

Pendidikan di wilayahperbatasan

0 komentar
Pada saat ini BNPP terkait pengelolaan wilayah perbatasan sudah berdiri, seperti harapan banyak pihak, semoga badan ini dapat bermanfaat dan bermakna bagi pembangunan wilayah perbatasan. Tetapi sesungguhnya disamping berbagai hal terkait pembangunan wilayah perbatasan itu penting, namun perlu kiranya di utamakan untuk terlebih dahulu memperhatikan masalah pendidikan anak-anak di wilayah perbatasan. Untunglah, salah satu pengelola BNPP ini di Kaltim misalnya atau katakanlah Kepalanya adalah salah satu anak dari perbatasan; selamat pagi, selamat siang atau selamat malam  pak Proffesor? Yah, yang saya maksud adalah bapak Dr A.Patton. Kembali ke masalah pendidikan anak-anak di wilayah perbatasan;

Anak-anak itu tidak mungkin dapat sekolah di perbatasan; mereka  tidak mungkin tiap hari pergi-pulang ke sekolah. Kampung-kampung mereka jauh di pedalaman. Pilihan cuma satu; mereka harus berpisah dengan orangtua, dengan keluarganya  untuk bisa sekolah. Nah itu kalau mereka punya tempat atau asrama di Kota, kalau tidak, mana mungkin mereka bisa sekolah di sana, sementara untuk penghidupan sehari-harinya saja sudah susah. Salah satu sederhana dan baik adalah Asrama Yayasan Peduli Pendidikan Masyarakat Pedalaman di Ledo. Letak asrama itu sekitar 50 kilometer dari perbatasan Kalbar-Serawak, Malaysia (di Kecamatan Jagoibabang, Bengkayang), atau sekitar 260 kilometer utara Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.
Kebutuhan mendasar
Asrama milik Yayasan Peduli Pendidikan Masyarakat Pedalaman itu memang khusus menampung anak-anak dari kampung-kampung di Kecamatan Ledo dan sekitarnya.Di tempat itu, ada dua bangunan, masing-masing untuk pelajar putra dan putri. Bangunannya terbuat dari kayu dan batako. Kamar-kamarnya disekat dengan papan tripleks, sedangkan ranjang dan kasur harus disediakan sendiri oleh pelajar yang tinggal di sana.
Biasanya mereka bisa tinggal secara  gratis di asrama. Atau meskipun harus bayar ya untuk  bayar listrik, katakanlah antara Rp 20-25 ribu per bulan. Untuk memasak dan mencuci mereka bisa lakukan sendiri. Atau kalau tidak dari rumah mereka sudah menyediakan sambal gorengan yang tahan utk satu-dua minggu. Biasanya untuk  kompor, panci, piring, dan gelas mereka bisa  bawa sendiri-sendiri
Konsep Teruji
Cara menyekolahkan seperti ini, sebenarnya sudah lama dilakukan oleh Pemda (Kab/Kota/Prov) pada tahun-tahun 60 an. Pada waktu itu masing-masing pemda misalnya berkenan membangunkan asrama siswa/mahasiswa bagi para pelajar mereka yang akan meuntut ilmu di Kota. Katakanlah di Yogyakarta, pada waktu itu banyak sekali asrama-asrama daerah di sana. Bagi yang punya sih tidak jadi persoalan, mereka bisa membiayai sendiri untuk pemondokan atau kostnya, tetapi bagi mereka yang tidak punya, maka dengan cara ini mereka jadi belajar di kota, di perguruan yang lebih baik. Mereka cukup iuran untuk listrik, air dan pembantu yang memelihara kebersihan asrama itu sehari-hari.
Kita kembali ke  asrama yang di Ledo, asrama ini dibangun tahun 2004, di sana ada sekitar  15 pelajar.  Mereka biasanya kembali ke kampung masing- masing dua atau tiga pekan sekali. Meskipun kampungnya jauh di pedalaman dan susah ke sana, tetapi mereka pasti merindukannya. Hal seperti itu juga dengan sendirinya akan dapat memperkuat semangat mereka untuk belajar. Mereka bisa melihat sendiri, bagaimana nasib mereka kalau tidak mempunyai ilmu untuk hidup.
Pulang ke kampung itu sendiri,  bukan perkara mudah. Perjalanan ke rumah mereka  di Desa Jelatuk, Kecamatan Lumur, menempuh waktu dua jam dari Ledo—hal itu bisa mereka lakukan dengan motor dan jalan kaki. Sebagian jalannya masih setapak dan berbukit. ”Di Lumur jelas tidak ada SMA jadi mereka harus sekolah di Ledo. Nah anda bisa bayangkan, kalau asrama tidak ada, bagaimana mereka bisa sekolah?  Menurut hemat saya, hal seperti ini perlu juga dilakukan oleh Pemda yang memabangun asrama-asramanya di sekolah-sekolah terbaik di Dunia; misalnya di Amerika, Australia, Jepang, Jerman dll. Sehingga anak-anak Indonesia itu bisa sekolah di sana. Saya percaya, kalau hal seperti itu ada; pasti banyak mahasiswa Indonesia yang ke sana belajar sambil jadi pekerja paruh waktu (seperti TKI/TKW, tapi lebih luwes gitulah). Sebab di luar negeri itu, hidup tidak susah, dan manusia itu sangat dihargai.

Kalau Musim ujian Tiba
Asrama itu biasanya akan ramai jika musim ujian sekolah tiba. Pada masa seperti ini bangunan bisa ditempati lebih dari 50 siswa. Mereka belajar bersama untuk menghadapi ujian. ”Asrama ini bantuan warga. Tak ada dari pemerintah daerah. Yang ada cuma memberi biskuit. Anak-anak di sini hidup mandiri,” Memang hal seperti ini sangat memprihatinkan. Pemda biasanya punya alasan, mereka tidak punya dana untuk itu. Padahal kalau  Pemda mau, mereka bisa melakukan itu; yakni dengan cara menyisihkan atau meminta sumbangan dari para warganya sendiri; dari sisi anggaran jelas sulit. Padahal kalau DPR merestui dan membuat peraturannya, ya jelas bisa..
Di Ledo juga banyak gubuk yang bisa memuat sekitar lima atau enam orang. Gubuk-gubuk itu biasanya dimanfaatkan pelajar dari daerah pedalaman. ”Umumnya, mereka adalah pelajar SD atau SMP,” paparnya.Sayangnya, semangat bersekolah anak-anak itu tidak dibarengi ketersediaan fasilitas belajar yang cukup. Bahkan, banyak sekolah di pedalaman dan perbatasan di Kalimantan yang kekurangan guru sehingga siswa belajar seadanya. Pengalaman saya tahun 80 an di sana, semua perangkat gurunya ada, tetapi hanya sebatas nama-nama saja; mereka dapat gaji tetapi tidak pernah melaksanakan tugasnya. Itulah Indonesia, uang itu lebih banyak di salah gunakan, dan dimanfaatkan oleh mereka yang bisa memanfaatkannya. Uang Negara sebenarnya tetap keluar untuk semua itu, tetapi memang tidak dipergunakan dengan benar dan dengan ihlas. Uang Negara ini, hanya habis jadi bancaan oleh mereka yang tega…dan sangat tega…untuk tidak membangun Negara ini dengan benar.
Kondisi sekolah diperbatasan itu memang memperihatinkan, seperti yang  di tulis  oleh  M Syaifullah/Ambrosius Harto Manumoyoso/ Wahyu Haryo P/Kompas/14 Des2009) misalnya ;
Jumriadi, guru SMP 003, Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, pertengahan November, terpaksa mengajar dua kelas karena satu rekannya sudah sebulan pulang kampung. Proses belajar 50 siswa di sekolah itu bisa berjalan karena dibantu seorang guru SD, yang juga istri pendeta setempat. Kondisi lebih berat dialami Gat Khaleb, guru SMP 001 Krayan Selatan di Desa Paupan. Dia mengajar 75 siswa kelas I, II, dan III sekaligus untuk semua pelajaran. ”Tujuh rekan saya pulang kampung lebih dari dua minggu,” katanya. Bagi orang awam, guru-guru yang meninggalkan tugasnya begitu lama semestinya mendapat teguran keras. Tetapi, di Kecamatan yang berada di perbatasan Kaltim, hal itu sudah biasa.Sebab, daerah itu terisolasi. Akses ke sana hanya dengan pesawat perintis dari Nunukan, Tarakan, atau Malinau.
Masyarakat di daerah itu minim mendapatkan perkembangan ilmu. Barang bacaan sedikit. Menonton televisi pun tak bisa lama karena listrik dari panel surya dan genset listrik kecamatan terbatas.”Harga bahan bakar mahal, Rp 15.000 per liter dan saat langka bisa Rp 50.000. Sebenarnya, kami ingin seperti teman- teman di perkotaan, yang lengkap memiliki buku bacaan, laboratorium, dan komputer,” cerita Margaret, siswa SMP Negeri 003 Krayan. Tapi semua itu memang masih sebatas mimpi. Itu di wilayah perbatasan RI-Malaysia, bagaimana yang di perbatasan RI-PNG atau RI-Timor Leste.