Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai narkoba (narkotika dan bahan atau obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat multi kompleks. Karena itu perlu upaya penanggulangan komprehensif seluruh komponen masyarakat secara aktif.
Dalam kedokteran dan kesehatan, napza masih bermanfaat bagi pengobatan. Tapi kadang disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan, sehingga akan sangat merugikan.Penyalahgunaan napza tidak hanya di kota-kota besar, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai kalangan atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan napza paling banyak berumur antara 15-24 tahun.
Napza adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh, terutama otak/susunan syaraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi), serta ketergantungan (dependensi) terhadap napza.
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat atau bahan berbahaya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna yang sama dengan napza.
Disalahgunakan
Dalam perkembangannya, ada beberapa jenis napza yang kemudian disalahgunakan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan.
Golongan I yakni narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Semisal heroin, putauw, kokain, dan ganja.
Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat sebagai bahan pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir serta dapat untuk terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, seperti morfin dan petidin.
Golongan III, narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai ’’potensi ringan’’ mengakibatkan ketergantungan, contohnya kodein.
Dari berbagai golongan tersebut, yang sering disalahgunakan adalah narkotika golongan pertama. Seperti opiat yakni morfin, heroin (putauw), petidin, candu, ganja atau kanabis, marihuana, hasbis, kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, dan daun kokain.
Sementara yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Seperti halnya narkotika, psikotropika juga ada penggolongan berdasar jenisnya.
Golongan I yakni psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai ’’potensi amat kuat’’ mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya ekstasi, sabu, dan LSD.
Golongan II yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai ’’potensi kuat’’ mengakibatkan sindroma ketergantungan semisal amfentamin, metilfenidat atau ritalin.
Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai ’’potensi sedang’’ mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya pentobarbital dan flunitrazepam.
Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai ’’potensi ringan’’ mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contohnya diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil koplo, rohip, dum, dan MG.
Sementara yang dimaksud dengan zat adiktif lainnya yang dimaksud di sini adalah bahan atau zat yang berpengaruh psikoaktif di luar yang disebut narkotika dan psikotropika, meliputi minuman beralkohol. Minuman jenis itu mengandung etanol etil alkohol yang berpengaruh menekan susunan syarat pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu.
Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia. Ada tiga golongan minuman beralkohol yaitu A, B, dan C. Golongan A berkadar etanol 1%-5%, contohnya bir. Golongan B berkadar etanol 5%-20 %, contohnya berbagai jenis ’’minuman anggur’’. Adapun golongan C mempunyai kadar etanol 20%-45 %, speerti Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny Walker, dan Kamput.
Pada sejumlah kasus, beberapa orang dikatakan mengalami ketergantungan napza. Ketergantungan pada napza yang dimaksud adalah keadaan di mana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah napza yang makin bertambah. Apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus zat.
Ada beberapa alasan jika dilihat dari tingkat pemakaian orang mengonsumsi napza. Pemakaian yang lebih dikarenakan faktor coba-coba, yaitu pemakaian napza yang tujuannya ingin mencoba, untuk memenuhi rasa ingin tahu.
Pemakaian sosial atau rekreasi yaitu pemakaian napza dengan tujuan bersenang-senang, pada saat rekreasi atau santai. Pemakaian situasional yakni pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu seperti ketegangan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainya dengan maksud menghilangkan perasaan-perasaan tersebut.
Kemudian pemakaian penyalahgunaan, yaitu pemakaian sebagai suatu pola penggunaan yang bersifat patologis atau klinis yang ditandai oleh intoksikasi sepanjang hari. Dia tak mampu mengurangi atau menghentikan dengan berusaha berulang kali mengendalikan dan terus menggunakan walaupun sakit fisiknya kambuh. Terakhir, pemakaian pada tingkat ketergantungan. Pada tingkat ini telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian napza dihentikan atau dikurangi dosisnya.
Agar tidak berlanjut pada tingkat yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan pada keluarga dan masyarakat.
UU Narkotika
Pada Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dijelaskan pada Pasal 81 ayat 1, barang siapa tanpa hak dan melawan hukum seperti membawa, mengirim, mengangkut, mentransito narkotika golongan I, akan dipidana penjara paling lama 15 tahun dan didenda paling banyak Rp 750 juta.
Sementara jika membawa, mengirim, mengangkut, mentransito narkotika golongan II akan diancam pidana pejara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Adapun pelanggaran untuk golongan III ancamannya adalah penjara paling lama 7 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Semenatara bagi pecandu narkotika dewasa yang sengaja tidak melapor akan diancam kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 2 juta. Bagi pihak keluarga akan dikenai hukuman penjara paling lama tiga bulan atau denda maksimal Rp 1 juta. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 88.
Adapun saksi yang tidak benar memberikan keterangan dalam pemeriksaan seperti yang tertuang dalam Pasal 95, akan dikenakan tindak pidana narkotika di muka persidangan, dan dipidana penjara masimal 10 tahun dan denda Rp 300 juta.
Sementara UU No 5 Tahun 1997 Pasal 59 tentang Psikotropika menjelaskan bagi siapa yang menggunakan, memproduksi, mengedarkan psikotropika akan dipidana dengan penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun, serta dikenakan denda paling sedikit Rp 150 juta atau paling banyak Rp 750 juta.
Bagi yang tidak mempunyai hak, memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika, akan diancam pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta seperti yang tertuang dalam Pasal 62.
Menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani perawatan atau pengobatan pada fasilitas rehabilitasi (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37) juga bisa terancam hukuman. Pasal 64 telah mengatur itu dengan ancaman hukuman penjara setahun dan denda Rp 20 juta.
Bagi yang tidak melapor adanya penyalahgunaan dan atau pemilikan psikotropika bisa dijerat dengan Pasal 65 dengan ancaman penjara satu tahun dan denda paling banyak Rp 20 juta. Termasuk bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana (Pasal 71) bisa dikategorikan sebagai permufakatan jahat dan dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. (62)
0 komentar:
Posting Komentar