Batasan tentang masa anak cukup bervariasi. Dalam pandangan mutakhir yang lajim dianut di negara maju, istilah anak usia dini (early childhood) adalah anak yang berkisar antara usia 0 – 8 tahun. Bila dilihat dari jenjang pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini adalah anak usia SD kelas rendah (kelas 1-3), Taman Kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play group) dan anak masa sebelumnya (masa bayi). Masa Taman Kanak-kanak dalam hal ini dipandang sebagai masa anak usia 4 – 6 tahun.
Pandangan para ahli pendidikan tentang anak cenderung berubah dari waktu ke waktu, dan berbeda satu sama lain sesuai dengan landasan teori yang digunakannya. Ada yang memandang anak sebagai makhluk yang sudah terbentuk oleh bawaannya, atau memandang anak sebagai makhluk yang dibentuk oleh lingkungannya. Ada ahli lain yang menganggap anak sebagai miniatur orang dewasa, dan ada pula yang memandang anak sebagai individu yang berbeda total dari orang dewasa. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Maria Montessori (Elizabeth B. Hurlock, 1978 : 13) berpendapat bahwa usia 3 – 6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terpenuhi maka anak akan mengalami kesukaran dalam berbahasa untuk periode selanjutnya.
Satu ilustrasi tentang kemampuan bicara anak dapat diamati dalam contoh berikut ini. “Adi seorang anak berusia 3 tahun 1 bulan mengajak ibunya untuk bermain dengan mengucapkan “Ma, men bitinton yu!”. Sebenarnya Adi mengajak ibunya untuk bermain batminton, tetapi Adi belum dapat mengungkapkannya secara jelas.
Dari ilustrasi di atas, dapat difahami bahwa Adi perlu dimotivasi dan dilatih kemampuan berbicaranya agar dapat menyampaikan apa yang diinginkannya dengan baik dan benar.
Masa-masa sensitif anak pada usia ini mencakup sensitif terhadap keteraturan lingkungan, mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, sensitif untuk berjalan, sensitif terhadap obyek-obyek kecil dan detail, serta terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.
Ilustrasi lain yang menggambarkan bagaimana anak mengeksplorasi lingkungan dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Linda seorang anak berusia 3,5 tahun sedang bersama ibunya di dapur. Saat itu ibunya akan mengupas buah semangka dan buah melon. Diamatinya buah tersebut dan disentuh serta dirabanya buah-buah tersebut.
Setelah ibunya selesai mengupas, Linda mencoba memakan buah tersebut”.
Dari ilustrasi di atas, dapat diamati bahwa Linda berusaha memahami bentuk buah-buahan tersebut dengan cara melihat dan merabanya dan kemudian mencoba mengetahui rasa buah tersebut dengan memakannya.
Pada periode ini selain anak perlu mendapatkan rangsangan dalam
mengembangkan kemampuannya, anak perlu mendapat pembinaan karakter yang dapat dibangun melalui kegiatan dan pekerjaan. Jika pada periode ini anak tidak mendorong ktivitasnya, maka perkembangan kepribadiannya akan mengalami hambatan. Misalnya anak diajak untuk membereskan mainannya sendiri. Aktivitas ini akan menjadi suatu kebiasaan yang dapat membentuk sifat rajin dan disiplin pada diri anak.
Erik H. Erikson (Helms & Turner, 1994 : 64) memandang periode usia 4-6
tahun sebagai fase sense of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan mampu mengembangkan prakarsa, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif dalam bidang yang disenanginya. Guru yang selalu menolong, memberi nasehat, dan membantu mengerjakan sesuatu padahal anak dapat melakukannya sendiri, menurut Erikson dapat membuat anak tidak mendapatkan kesempatan untuk berbuat kesalahan atau belajar dari kesalahan itu.
Pada fase ini terjamin tidaknya kesempatan untuk berprakarsa (dengan adanya kepercayaan dan kemandirian yang memungkinkannya untuk berprakarsa), akan menumbuhkan kemampuan untuk berprakarsa. Sebaliknya kalau terlalu banyak dilarang dan ditegur, anak akan diliputi perasaan serba salah dan berdosa (guilty).
Contoh yang dapat diamati dari kehidupan sehari-hari anak, dimana anak mencoba untuk berprakarsa dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Anita seorang anak berusia 4 tahun pada dasarnya cukup cerdas dan selalu ingin tahu tentang sesuatu. Ketika ia membuka lemari es, ia melihat botol minumannya kosong. Anita segera membawa botol tersebut ke dapur dan mencoba menuangkan air ke dalam botol namun airnya tumpah. Ibunya melihat aktivitas anaknya dan memberi kesempatan untuk mencobanya. Anita tidak putus asa dan mencoba lagi. Sekarang Anita menggunakan bantuan alat (corong) untuk menuangkan air tersebut ke dalam
botol, dan akhirnya berhasil”.
Dari peristiwa di atas dapat difahami bahwa bila lingkungan mendukung proses berprakarsa, maka anak dapat melaksanakan dan membuktikan prakarsanya dengan senang hati. Sebaliknya, bila lingkungan tidak memberikan dukungan maka prakarsa itu tidak dapat terwujud dan cenderung membuat anak tidak mau mencobanya lagi.
Menurut Froebel (Roopnaire, J.L & Johnson, J.E., 1993 : 56) masa anak
merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia (a noble and malleable phase of human life). Oleh karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.
Menurut Froebel, jika orang dewasa mampu menyediakan suatu “taman” yang dirancang sesuai dengan potensi dan bawaan anak, maka anak akan berkembang secara wajar.
Maria Montessori (Solehuddin, 1997 : 27) seorang tokoh inovasi pendidikan di Eropa pada abad 20 memandang bahwa anak merupakan suatu kutub tersendiri dari dunia kehidupan manusia. Kehidupan anak dan orang dewasa dipandang sebagai dua kutub yang saling berpengaruh satu sama lain. Kualitas pengalaman kehidupan anak akan mempengaruhi pola perilaku dan kehidupannya di masa dewasa. Sebaliknya pola kehidupan dan perlakuan orang dewasa terhadap anak akan mempengaruhi pola
perkembangan yang dialami anak. Montessori menganggap bahwa pendidikan adalah suatu upaya membantu perkembangan anak secara menyeluruh dan bukan sekedar kegiatan mengajar. Menurutnya, spirit kemanusiaan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Montessori juga mengemukakan bahwa secara bawaan anak sudah memiliki suatu pola perkembangan psikis. Pola perkembangan psikis ini merupakan embrio spiritual yang akan mengarahkan perkembangan psikis anak. Pola perkembangan psikis ini tidak teramati pada saat lahir, namun akan terungkap melalui proses perkembangan yang dijalani anak. Selain dari itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah pembentukan diri (self-construction), dengan dorongan ini anak secara spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungannya.
Pengembangan pola perkembangan psikis perlu dilakukan sejak kecil melalui pengalaman-pengalaman interaksional pendidikan. Kondisi yang diperlukan untukperkembangan ini adalah : pertama, adanya interaksi yang terpadu antara anak
dengan lingkungannya (baik benda maupun orang), dan kedua, adanya kebebasanbagi anak.
Selain konsep pembentukan diri (self-construction), menurut Montessori dalam perkembangan anak terdapat masa-masa sensitif, yaitu suatu masa yang ditandai dengan begitu tertariknya anak terhadap suatu objek atau karakteristik tertentu dan cenderung mengabaikan objek-objek yang lain. Juga menurut Montessori, dalam jiwa anak terdapat jiwa penyerap (absorbent mind) yaitu gejala psikis yang memungkinkan anak membangun pengetahuannya dengan cara menyerap sesuatu dari
lingkungannnya dan menggabungkan pengetahuan yang diperolehnya secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya.
Menurut pandangan konstruktivis yang dimotori Jean Piaget dan Lev Vygotsky,
anak bersifat aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya.
Secara mental anak mengkonstruksi pengetahuannya melalui refleksi terhadap pengalamannya. Anak memperoleh pengetahuan bukan dengan cara menerima secara pasif dari orang lain, melainkan dengan cara membangunnya sendiri secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya. Anak adalah makhluk belajar aktif yang dapat mengkreasi dan membangun pengetahuannya.
Anak usia Taman Kanak-kanak adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak memiliki dunia dan karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Anak sangat aktif, dinamis, antusias dan hampir selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, seolah-olah tak pernah berhenti untuk belajar.
Dari lingkungan anak membangun pengetahuan, rasa ingin
tahu yang tinggi pada anak mendorong anak menemukan
sesuatu yang baru bagi dirinya.
Kartini Kartono (1986 : 113) mengungkapkan ciri khas anak masa kanak-kanak
sebagai berikut :
1. Bersifat egosentris naïf
Seorang anak yang egosentris naïf memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit. Anak sangat terpengaruh oleh akalnya yang masih sederhana sehingga tidak mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Anak belum memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum mampu menempatkan diri ke dalam kehidupan atau pikiran orang lain. Anak
sangat terikat pada dirinya sendiri. Ia menganggap bahwa pribadinya adalah satu dan terpadu erat dengan lingkungannya, ia belum mampu memisahkan dirinya dari lingkungannya.
Sikap egosentris yang naif ini bersifat temporer atau sementara, dan senantiasa dialami oleh setiap anak dalam proses perkembangannya.Anak belum dapat memahami bahwa suatu peristiwa tertentu bagi orang lain mempunyai arti yang berbeda, yang lain dengan pengertian anak tersebut.
Contoh sikap egosentris pada anak dapat disimak dalam ilustrasi berikut: “Deni anak berusia 3 tahun bermain bola dengan temannya yang seusia. Satu waktu mereka berebut bola dan saling memukul, akhirnya temannya menangis. Hal ini terjadi karena Deni tidak mau memberikan mainan tersebut pada temannya. Ibunya mencoba menengahi sikap Deni dengan memberi mainan bola lainnya, dengan harapan mereka bermain sendiri-sendiri. Tapi ternyata Deni malah menangis dan menginginkan dua bola itu dimainkannya sendiri”.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa anak seusia Deni masih memandang segala sesuatu dari pikiran dan keinginan dirinya, ia belum tahu bahwa orang lain memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda, yang ia tahu bahwa
keinginannya harus terpenuhi.
2. Relasi sosial yang primitif
Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif. Ciri ini
ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara keadaan dirinya dengan keadaan lingkungan sosial sekitarnya. Artinya anak belum dapat membedakan antara kondisi dirinya dengan kondisi orang lain atau anak lain di luar dirinya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda dan peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Dengan kata lain anak membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya sendiri.
Relasi sosial anak dengan lingkungannya masih sangat longgar, hal ini disebabkan karena anak belum dapat menghayati kedudukan diri sendiri dalam lingkungannya.
Anak belum sadar dan mengerti adanya orang lain dan benda lain di luar dirinya yang sifatnya berbeda dengan dia. Anak berkeyakinan bahwa orang lain menghayati dan merasakan suatu peristiwa sama halnya dengan penghayatannya sendiri.
Ilustrasi tentang relasi sosial anak nampak dalam contoh berikut ini.
“Ani belajar di taman kanak-kanak kelompok A. Setiap hari Ani membawa bekal makanan. Satu waktu teman sebelah Ani menangis karena tidak membawa bekal makanan, tapi Ani dengan enaknya memakan bekalnya dan tidak mempedulikan bahwa teman di sampingnya tidak membawa bekal makanan. Guru melihat kondisi itu, akhirnya mengajak anak-anak untuk mau membagi bekal makanannya kepada teman yang tidak membawa bekal”.
Dari ilustrasi di atas dapat difahami bahwa pada dasarnya anak belum memiliki pemahaman bahwa orang lain berbeda dengan dirinya. Anak masih menganggap bahwa orang lain sama dengan dirinya. Pada masa ini anak perlu diajari bagaimana memahami kondisi orang lain dan mau berbagi dengan orang lain.
3. Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan
Dunia lahiriah dan batiniah anak belum dapat dipisahkan, anak belum dapat membedakan keduanya. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun bahasanya.
Anak tidak dapat berbohong atau bertingkah laku pura-pura, anak mengekspresikannya secara terbuka.
Ilustrasi tentang kesatuan jasmani dan rohani anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Aulia seorang anak berusia 4 tahun sedang bermain dengan temannya,
tiba-tiba temannya berbuat licik dan Aulia menangis. Aulia menangis tidak hanya mengeluarkan air mata namun juga mengeluarkan suara yang keras, dan anggota tubuhnya berguncang-guncang digerakkan oleh suasana hati yang tidak
menyenangkan”.
Ekspresi rasa kekesalan atau ketidaksenangan anak seperti Aulia ditunjukkan tidak hanya dengan mengeluarkan air mata sebagai tanda menangis, tapi anak seusia Aulia menunjukkannya dengan mengungkapkan kata-kata tidak senang dengan nada yang keras dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang lain. Ekspresi ini merupakan wujud masih bersatunya jasmani dan rohani anak. Anak belum dapat menunjukkan ketidaksenangannya hanya dengan menangis atau mengungkapkannya dengan kata-kata.
Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut/sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang memiliki jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu anak pada usia ini sering bercakap-cakap dengan binatang, boneka dan sebagainya.
Ilustrasi tentang sikap fisiognomis pada anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Ayu anak berusia 4,5 tahun sedang bermain boneka di teras rumahnya. Ia memegang-megang badan dan kening boneka itu sambil berkata “Kamu kenapa, kok badannya panas. Kamu sakit ya?”., saya kasih obat ya biar sembuh”.
Contoh di atas menggambarkan bahwa anak menganggap boneka mainannya merupakan benda hidup yang dapat sakit seperti dirinya. Sikap Ayu seperti ini menunjukkan bahwa Ayu masih bersifat fisiognomis.
Moeslichatoen R. (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1988 : 113-114)
mengemukakan beberapa ciri pertumbuhan kejiwaan anak taman kanak-kanak sebagai berikut :
1. Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana sudah mulai tumbuh.
Anak pada masa ini sudah mulai dapat makan sendiri walaupun tidak rapih, dapat memakai baju sendiri walaupun membutuhkan waktu yang lama.
2. Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku yang wujudnya tampak, seperti : senang berkawan, sanggup mematuhi peraturan, mulai menyadari hak dan tanggungjawab, sanggup bergaul dan bekerjasama dengan orang lain.
3. Mulai menyadari dirinya berbeda dengan anak lain yang mempunyai keinginan dan perasaan tertentu.
4. Masih tergantung pada orang lain dan memerlukan perlindungan dan kasih sayang orang lain.
5. Belum dapat membedakan antara yang nyata dengan khayal
6. Mempunyai kesanggupan imitasi dan identifikasi kesibukan orang dewasa (dalam bentuk sederhana) di sekitarnya melalui kegiatan bermain.
7. Mulai menunjukkan kemampuan memecahkan persoalan dengan berpikir berdasarkan hal-hal konkrit.
8. Mulai mampu menyesuaikan reaksi emosi terhadap kejadian yang dialami, sehingga anak dapat dilatih untuk menguasai dan mengarahkan ekspresi perasaan dalam bentuk yang lebih baik.
9. Dorongan untuk mengeksploitasi lingkungan fisik dan sosial mulai tumbuh dengan ditandai seringnya bertanya tentang segala sesuatu kepada orang di sekitarnya untuk memperoleh informasi atau pengalaman.
Dalam usia TK anak mulai berkelompok, belajar mengenal aturan dan bekerja sama dengan teman lain.
Selain ciri-ciri di atas, anak usia sekitar 4-5 tahun akan menunjukkan rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu. Anak memiliki sikap berpetualang (adventurousness) yang kuat. Anak akan banyak memperhatikan, membicarakan atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya.
Pada masa ini, anak juga menunjukkan minatnya yang kuat untuk
mengobservasi lingkungan dan benda-benda di sekitarnya, dorongan ini membuat anak senang ikut bepergian ke daerah-daerah dan anak akan sangat mengamati bila diminta untuk mencari sesuatu.
Anak usia 4-5 tahun masih memerlukan aktivitas fisik yang banyak. Kebutuhan anak untuk melakukan berbagai aktivitas sangat diperlukan baik untuk pengembangan otot-otot kecil maupun otot-otot besar. Gerakan-gerak fisik ini tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan fisik saja, tetapi juga dapat berpengaruh positif terhadap penumbuhan rasa harga diri anak dan bahkan perkembangan kognisi.
Keberhasilan anak dalam menguasai keterampilan-keterampilan motorik dapat membuat anak bangga akan dirinya. Misalnya anak diminta untuk berjalan di atas papan titian. Aktivitas itu membutuhkan kemampuan keseimbangan dan kekuatan fisik, keselarasan gerakan, keberanian, kemampuan melihat posisi papan dan ketepatan menempatkan kaki (langkah) dan kestabilan emosi. Jika anak mampu melewati papan titian itu dengan baik, maka pada diri anak selain berkembang kemampuan fisiknya juga menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta berkembang kemampuan kognisinya.
Aktivitas fisik yang banyak pada anak mendorong anak
belajar keseimbangan, keberanian, dan keselarasan gerakan.
Sejalan dengan perkembangan keterampilan fisiknya, anak usia sekitar lima tahun semakin berminat pada teman-temannya. Ia mulai menunjukkan hubungan dan kemampuan bekerja sama yang lebih erat dengan teman-temannya. Anak memilih teman berdasarkan kesamaan aktivitas dan kesenangan.
Kualitas lain dari anak usia ini adalah kemampuannya untuk memahami
pembicaraan dan pandangan orang lain yang semakin meningkat, sehingga keterampilan komunikasinya juga meningkat. Penguasaan akan keterampilan
Pandangan para ahli pendidikan tentang anak cenderung berubah dari waktu ke waktu, dan berbeda satu sama lain sesuai dengan landasan teori yang digunakannya. Ada yang memandang anak sebagai makhluk yang sudah terbentuk oleh bawaannya, atau memandang anak sebagai makhluk yang dibentuk oleh lingkungannya. Ada ahli lain yang menganggap anak sebagai miniatur orang dewasa, dan ada pula yang memandang anak sebagai individu yang berbeda total dari orang dewasa. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Maria Montessori (Elizabeth B. Hurlock, 1978 : 13) berpendapat bahwa usia 3 – 6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terpenuhi maka anak akan mengalami kesukaran dalam berbahasa untuk periode selanjutnya.
Satu ilustrasi tentang kemampuan bicara anak dapat diamati dalam contoh berikut ini. “Adi seorang anak berusia 3 tahun 1 bulan mengajak ibunya untuk bermain dengan mengucapkan “Ma, men bitinton yu!”. Sebenarnya Adi mengajak ibunya untuk bermain batminton, tetapi Adi belum dapat mengungkapkannya secara jelas.
Dari ilustrasi di atas, dapat difahami bahwa Adi perlu dimotivasi dan dilatih kemampuan berbicaranya agar dapat menyampaikan apa yang diinginkannya dengan baik dan benar.
Masa-masa sensitif anak pada usia ini mencakup sensitif terhadap keteraturan lingkungan, mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, sensitif untuk berjalan, sensitif terhadap obyek-obyek kecil dan detail, serta terhadap aspek-aspek sosial kehidupan.
Ilustrasi lain yang menggambarkan bagaimana anak mengeksplorasi lingkungan dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Linda seorang anak berusia 3,5 tahun sedang bersama ibunya di dapur. Saat itu ibunya akan mengupas buah semangka dan buah melon. Diamatinya buah tersebut dan disentuh serta dirabanya buah-buah tersebut.
Setelah ibunya selesai mengupas, Linda mencoba memakan buah tersebut”.
Dari ilustrasi di atas, dapat diamati bahwa Linda berusaha memahami bentuk buah-buahan tersebut dengan cara melihat dan merabanya dan kemudian mencoba mengetahui rasa buah tersebut dengan memakannya.
Pada periode ini selain anak perlu mendapatkan rangsangan dalam
mengembangkan kemampuannya, anak perlu mendapat pembinaan karakter yang dapat dibangun melalui kegiatan dan pekerjaan. Jika pada periode ini anak tidak mendorong ktivitasnya, maka perkembangan kepribadiannya akan mengalami hambatan. Misalnya anak diajak untuk membereskan mainannya sendiri. Aktivitas ini akan menjadi suatu kebiasaan yang dapat membentuk sifat rajin dan disiplin pada diri anak.
Erik H. Erikson (Helms & Turner, 1994 : 64) memandang periode usia 4-6
tahun sebagai fase sense of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan mampu mengembangkan prakarsa, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif dalam bidang yang disenanginya. Guru yang selalu menolong, memberi nasehat, dan membantu mengerjakan sesuatu padahal anak dapat melakukannya sendiri, menurut Erikson dapat membuat anak tidak mendapatkan kesempatan untuk berbuat kesalahan atau belajar dari kesalahan itu.
Pada fase ini terjamin tidaknya kesempatan untuk berprakarsa (dengan adanya kepercayaan dan kemandirian yang memungkinkannya untuk berprakarsa), akan menumbuhkan kemampuan untuk berprakarsa. Sebaliknya kalau terlalu banyak dilarang dan ditegur, anak akan diliputi perasaan serba salah dan berdosa (guilty).
Contoh yang dapat diamati dari kehidupan sehari-hari anak, dimana anak mencoba untuk berprakarsa dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Anita seorang anak berusia 4 tahun pada dasarnya cukup cerdas dan selalu ingin tahu tentang sesuatu. Ketika ia membuka lemari es, ia melihat botol minumannya kosong. Anita segera membawa botol tersebut ke dapur dan mencoba menuangkan air ke dalam botol namun airnya tumpah. Ibunya melihat aktivitas anaknya dan memberi kesempatan untuk mencobanya. Anita tidak putus asa dan mencoba lagi. Sekarang Anita menggunakan bantuan alat (corong) untuk menuangkan air tersebut ke dalam
botol, dan akhirnya berhasil”.
Dari peristiwa di atas dapat difahami bahwa bila lingkungan mendukung proses berprakarsa, maka anak dapat melaksanakan dan membuktikan prakarsanya dengan senang hati. Sebaliknya, bila lingkungan tidak memberikan dukungan maka prakarsa itu tidak dapat terwujud dan cenderung membuat anak tidak mau mencobanya lagi.
Menurut Froebel (Roopnaire, J.L & Johnson, J.E., 1993 : 56) masa anak
merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia (a noble and malleable phase of human life). Oleh karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.
Menurut Froebel, jika orang dewasa mampu menyediakan suatu “taman” yang dirancang sesuai dengan potensi dan bawaan anak, maka anak akan berkembang secara wajar.
Maria Montessori (Solehuddin, 1997 : 27) seorang tokoh inovasi pendidikan di Eropa pada abad 20 memandang bahwa anak merupakan suatu kutub tersendiri dari dunia kehidupan manusia. Kehidupan anak dan orang dewasa dipandang sebagai dua kutub yang saling berpengaruh satu sama lain. Kualitas pengalaman kehidupan anak akan mempengaruhi pola perilaku dan kehidupannya di masa dewasa. Sebaliknya pola kehidupan dan perlakuan orang dewasa terhadap anak akan mempengaruhi pola
perkembangan yang dialami anak. Montessori menganggap bahwa pendidikan adalah suatu upaya membantu perkembangan anak secara menyeluruh dan bukan sekedar kegiatan mengajar. Menurutnya, spirit kemanusiaan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya. Montessori juga mengemukakan bahwa secara bawaan anak sudah memiliki suatu pola perkembangan psikis. Pola perkembangan psikis ini merupakan embrio spiritual yang akan mengarahkan perkembangan psikis anak. Pola perkembangan psikis ini tidak teramati pada saat lahir, namun akan terungkap melalui proses perkembangan yang dijalani anak. Selain dari itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah pembentukan diri (self-construction), dengan dorongan ini anak secara spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungannya.
Pengembangan pola perkembangan psikis perlu dilakukan sejak kecil melalui pengalaman-pengalaman interaksional pendidikan. Kondisi yang diperlukan untukperkembangan ini adalah : pertama, adanya interaksi yang terpadu antara anak
dengan lingkungannya (baik benda maupun orang), dan kedua, adanya kebebasanbagi anak.
Selain konsep pembentukan diri (self-construction), menurut Montessori dalam perkembangan anak terdapat masa-masa sensitif, yaitu suatu masa yang ditandai dengan begitu tertariknya anak terhadap suatu objek atau karakteristik tertentu dan cenderung mengabaikan objek-objek yang lain. Juga menurut Montessori, dalam jiwa anak terdapat jiwa penyerap (absorbent mind) yaitu gejala psikis yang memungkinkan anak membangun pengetahuannya dengan cara menyerap sesuatu dari
lingkungannnya dan menggabungkan pengetahuan yang diperolehnya secara langsung ke dalam kehidupan psikisnya.
Menurut pandangan konstruktivis yang dimotori Jean Piaget dan Lev Vygotsky,
anak bersifat aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya.
Secara mental anak mengkonstruksi pengetahuannya melalui refleksi terhadap pengalamannya. Anak memperoleh pengetahuan bukan dengan cara menerima secara pasif dari orang lain, melainkan dengan cara membangunnya sendiri secara aktif melalui interaksi dengan lingkungannya. Anak adalah makhluk belajar aktif yang dapat mengkreasi dan membangun pengetahuannya.
Anak usia Taman Kanak-kanak adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan yang sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak memiliki dunia dan karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Anak sangat aktif, dinamis, antusias dan hampir selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, seolah-olah tak pernah berhenti untuk belajar.
Dari lingkungan anak membangun pengetahuan, rasa ingin
tahu yang tinggi pada anak mendorong anak menemukan
sesuatu yang baru bagi dirinya.
Kartini Kartono (1986 : 113) mengungkapkan ciri khas anak masa kanak-kanak
sebagai berikut :
1. Bersifat egosentris naïf
Seorang anak yang egosentris naïf memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya yang masih sempit. Anak sangat terpengaruh oleh akalnya yang masih sederhana sehingga tidak mampu menyelami perasaan dan pikiran orang lain. Anak belum memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa dan belum mampu menempatkan diri ke dalam kehidupan atau pikiran orang lain. Anak
sangat terikat pada dirinya sendiri. Ia menganggap bahwa pribadinya adalah satu dan terpadu erat dengan lingkungannya, ia belum mampu memisahkan dirinya dari lingkungannya.
Sikap egosentris yang naif ini bersifat temporer atau sementara, dan senantiasa dialami oleh setiap anak dalam proses perkembangannya.Anak belum dapat memahami bahwa suatu peristiwa tertentu bagi orang lain mempunyai arti yang berbeda, yang lain dengan pengertian anak tersebut.
Contoh sikap egosentris pada anak dapat disimak dalam ilustrasi berikut: “Deni anak berusia 3 tahun bermain bola dengan temannya yang seusia. Satu waktu mereka berebut bola dan saling memukul, akhirnya temannya menangis. Hal ini terjadi karena Deni tidak mau memberikan mainan tersebut pada temannya. Ibunya mencoba menengahi sikap Deni dengan memberi mainan bola lainnya, dengan harapan mereka bermain sendiri-sendiri. Tapi ternyata Deni malah menangis dan menginginkan dua bola itu dimainkannya sendiri”.
Dari ilustrasi di atas, tampak bahwa anak seusia Deni masih memandang segala sesuatu dari pikiran dan keinginan dirinya, ia belum tahu bahwa orang lain memiliki pandangan dan keinginan yang berbeda, yang ia tahu bahwa
keinginannya harus terpenuhi.
2. Relasi sosial yang primitif
Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif. Ciri ini
ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara keadaan dirinya dengan keadaan lingkungan sosial sekitarnya. Artinya anak belum dapat membedakan antara kondisi dirinya dengan kondisi orang lain atau anak lain di luar dirinya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda dan peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Dengan kata lain anak membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya sendiri.
Relasi sosial anak dengan lingkungannya masih sangat longgar, hal ini disebabkan karena anak belum dapat menghayati kedudukan diri sendiri dalam lingkungannya.
Anak belum sadar dan mengerti adanya orang lain dan benda lain di luar dirinya yang sifatnya berbeda dengan dia. Anak berkeyakinan bahwa orang lain menghayati dan merasakan suatu peristiwa sama halnya dengan penghayatannya sendiri.
Ilustrasi tentang relasi sosial anak nampak dalam contoh berikut ini.
“Ani belajar di taman kanak-kanak kelompok A. Setiap hari Ani membawa bekal makanan. Satu waktu teman sebelah Ani menangis karena tidak membawa bekal makanan, tapi Ani dengan enaknya memakan bekalnya dan tidak mempedulikan bahwa teman di sampingnya tidak membawa bekal makanan. Guru melihat kondisi itu, akhirnya mengajak anak-anak untuk mau membagi bekal makanannya kepada teman yang tidak membawa bekal”.
Dari ilustrasi di atas dapat difahami bahwa pada dasarnya anak belum memiliki pemahaman bahwa orang lain berbeda dengan dirinya. Anak masih menganggap bahwa orang lain sama dengan dirinya. Pada masa ini anak perlu diajari bagaimana memahami kondisi orang lain dan mau berbagi dengan orang lain.
3. Kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan
Dunia lahiriah dan batiniah anak belum dapat dipisahkan, anak belum dapat membedakan keduanya. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara bebas, spontan, dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun bahasanya.
Anak tidak dapat berbohong atau bertingkah laku pura-pura, anak mengekspresikannya secara terbuka.
Ilustrasi tentang kesatuan jasmani dan rohani anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Aulia seorang anak berusia 4 tahun sedang bermain dengan temannya,
tiba-tiba temannya berbuat licik dan Aulia menangis. Aulia menangis tidak hanya mengeluarkan air mata namun juga mengeluarkan suara yang keras, dan anggota tubuhnya berguncang-guncang digerakkan oleh suasana hati yang tidak
menyenangkan”.
Ekspresi rasa kekesalan atau ketidaksenangan anak seperti Aulia ditunjukkan tidak hanya dengan mengeluarkan air mata sebagai tanda menangis, tapi anak seusia Aulia menunjukkannya dengan mengungkapkan kata-kata tidak senang dengan nada yang keras dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang lain. Ekspresi ini merupakan wujud masih bersatunya jasmani dan rohani anak. Anak belum dapat menunjukkan ketidaksenangannya hanya dengan menangis atau mengungkapkannya dengan kata-kata.
Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut/sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata terhadap apa yang dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa yang dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada di sekitarnya dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang memiliki jasmani dan rohani sekaligus, seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu anak pada usia ini sering bercakap-cakap dengan binatang, boneka dan sebagainya.
Ilustrasi tentang sikap fisiognomis pada anak dapat disimak dalam contoh berikut ini. “Ayu anak berusia 4,5 tahun sedang bermain boneka di teras rumahnya. Ia memegang-megang badan dan kening boneka itu sambil berkata “Kamu kenapa, kok badannya panas. Kamu sakit ya?”., saya kasih obat ya biar sembuh”.
Contoh di atas menggambarkan bahwa anak menganggap boneka mainannya merupakan benda hidup yang dapat sakit seperti dirinya. Sikap Ayu seperti ini menunjukkan bahwa Ayu masih bersifat fisiognomis.
Moeslichatoen R. (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1988 : 113-114)
mengemukakan beberapa ciri pertumbuhan kejiwaan anak taman kanak-kanak sebagai berikut :
1. Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana sudah mulai tumbuh.
Anak pada masa ini sudah mulai dapat makan sendiri walaupun tidak rapih, dapat memakai baju sendiri walaupun membutuhkan waktu yang lama.
2. Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku yang wujudnya tampak, seperti : senang berkawan, sanggup mematuhi peraturan, mulai menyadari hak dan tanggungjawab, sanggup bergaul dan bekerjasama dengan orang lain.
3. Mulai menyadari dirinya berbeda dengan anak lain yang mempunyai keinginan dan perasaan tertentu.
4. Masih tergantung pada orang lain dan memerlukan perlindungan dan kasih sayang orang lain.
5. Belum dapat membedakan antara yang nyata dengan khayal
6. Mempunyai kesanggupan imitasi dan identifikasi kesibukan orang dewasa (dalam bentuk sederhana) di sekitarnya melalui kegiatan bermain.
7. Mulai menunjukkan kemampuan memecahkan persoalan dengan berpikir berdasarkan hal-hal konkrit.
8. Mulai mampu menyesuaikan reaksi emosi terhadap kejadian yang dialami, sehingga anak dapat dilatih untuk menguasai dan mengarahkan ekspresi perasaan dalam bentuk yang lebih baik.
9. Dorongan untuk mengeksploitasi lingkungan fisik dan sosial mulai tumbuh dengan ditandai seringnya bertanya tentang segala sesuatu kepada orang di sekitarnya untuk memperoleh informasi atau pengalaman.
Dalam usia TK anak mulai berkelompok, belajar mengenal aturan dan bekerja sama dengan teman lain.
Selain ciri-ciri di atas, anak usia sekitar 4-5 tahun akan menunjukkan rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu. Anak memiliki sikap berpetualang (adventurousness) yang kuat. Anak akan banyak memperhatikan, membicarakan atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya.
Pada masa ini, anak juga menunjukkan minatnya yang kuat untuk
mengobservasi lingkungan dan benda-benda di sekitarnya, dorongan ini membuat anak senang ikut bepergian ke daerah-daerah dan anak akan sangat mengamati bila diminta untuk mencari sesuatu.
Anak usia 4-5 tahun masih memerlukan aktivitas fisik yang banyak. Kebutuhan anak untuk melakukan berbagai aktivitas sangat diperlukan baik untuk pengembangan otot-otot kecil maupun otot-otot besar. Gerakan-gerak fisik ini tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan fisik saja, tetapi juga dapat berpengaruh positif terhadap penumbuhan rasa harga diri anak dan bahkan perkembangan kognisi.
Keberhasilan anak dalam menguasai keterampilan-keterampilan motorik dapat membuat anak bangga akan dirinya. Misalnya anak diminta untuk berjalan di atas papan titian. Aktivitas itu membutuhkan kemampuan keseimbangan dan kekuatan fisik, keselarasan gerakan, keberanian, kemampuan melihat posisi papan dan ketepatan menempatkan kaki (langkah) dan kestabilan emosi. Jika anak mampu melewati papan titian itu dengan baik, maka pada diri anak selain berkembang kemampuan fisiknya juga menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta berkembang kemampuan kognisinya.
Aktivitas fisik yang banyak pada anak mendorong anak
belajar keseimbangan, keberanian, dan keselarasan gerakan.
Sejalan dengan perkembangan keterampilan fisiknya, anak usia sekitar lima tahun semakin berminat pada teman-temannya. Ia mulai menunjukkan hubungan dan kemampuan bekerja sama yang lebih erat dengan teman-temannya. Anak memilih teman berdasarkan kesamaan aktivitas dan kesenangan.
Kualitas lain dari anak usia ini adalah kemampuannya untuk memahami
pembicaraan dan pandangan orang lain yang semakin meningkat, sehingga keterampilan komunikasinya juga meningkat. Penguasaan akan keterampilan
0 komentar:
Posting Komentar